Sabtu, 14 Maret 2020

Besok Libur




Puisi...
Pulanglah Nak,
Daerahmu punya segalanya
Ingin belajar menjadi politisi tangguh? Leluhurmu begitu piawai di bidang itu. Lihat betapa cekatan Raja Wadipalapa, atau yang dikenal dengan Matolodula da’a mendamai satukan 17 kerajaan yang gemar bertikai waktu itu, menjagi satu.
Ingin menjadi diplomat ulang?
Bapu eyato leluhurmu itu, selesai di bidang itu. Lihat bagaimana dia mendamaikan 2 kerajaan besar Waktu itu; hulontalo dan limutu, Yang kurang lebih 200 tahun bertikai dan gemar menumpahkan darah antar sesama. Ya’’!!! dia mendamaikan mereka.
Setelah menenggelamkan pedang dan cincin to bulalo lo limutu, dia lantas membuat aturan baku; ‘’Dalam penyebutan 2 kerajaan yang berdamai itu, harus dalam satu tarikan nafas; “Hulondalo limutu-limutu hulondalo”. Hehehe tak perlulah kamu terlalu bangga dengan Bung Karno Yang mampu mendamaikan sementara Kenedi dan Kastro Eyato lebih tangguh, Maha Raja Eyato lebih hebat dari itu. Tak perlulah kamu teramat memuji metode dakwah ormas-ormas itu, yang mengusung paham moderat, pluralitas dan toleransi sebagai bumbu utama dakwahnya. Heyy…. leluhurmu Sultan Amai 600 tahun yang lalu sudah melakukan itu. Bahkan lebih ekstrim dari Itu; Sebelum menyampaikan maklumat agung; Bahwa Islam adalah agama baru, Sultan Amai Menyempatkan diri menggelar hajatan besar bersama rakyatnya, di halaman Masjid Hunto Hidangan makanan utamanya (maaf) masih daging babi, Santapan mewah di kala itu. Hajatan selesai, tiba saatnya Raja bicara disinggasana; ‘’Rakyatku sekalian yang aku cintai, Mulai saat ini aku dan kamu sudah beragama Islam, daging babi yang kalian santap tadi, mulai besok dan seterusnya tak bisa kalian makan lagi.
Ini perintah agama, Aku dan kamu harus tunduk padanya…
Dakwah yang menyejukkan bukan?
Bukan dakwah yang tabrak sana, seruduk sini, Bukan dakwah yang gemar mencap haram Itu ini. Bukan dakwah yang suka teriak-teriak KAFIR….KAFIR….KAFIR….
Dakwah Amai adalah dakwah yang mengedepankan Amar ma’ruf nahi munkar Berbuat baik lebih dulu, menumpas kejahatan setelah itu. Bukan kebalik!!!
Pulanglah Nak,
Jika kamu perempuan,
Silahkan kau simpatik dengan Margaret Tacher, Atau Golda Meir wanita Yahudi itu, atau Sri Mulyani, atau Susi Pujiastuti, atau Megawati, atau Puan Maharani. Tapi jangan kau menutup mata dengan sederet perempuan tangguh Gorontalo leluhurmu itu; Ratu pongaito misalnya, yang memimpin Kerajaan Limboto sekitar 300 tahun yang lalu, Dengan anggunnya telah menancapkan keteladanan, Persatuan, dan pentingnya intenggritas dalam Praktik kekuasaan.
Etika konfederasi dipertahankan dan di pegang teguh oleh sang ratu. Dia tak hancur oleh seragam, pun tak terbuai dengan rayuan.
Mbu’i bungale, Seorang ratu pembesar kerajaan yang begitu piaway menjaga perbatasan, dan mengurusi urusan luar negeri, Seorang ratu karismatik yang mampu mamadukan dua kerajaan besar, yakni Suwawa dan Limboto.
Yang selanjurnya kita kenal ‘’ U Duluwo Mulo’’ atau serikat yang pertama. Sekitar 700 tahun yang lalu!!!
Ratu Tolangohula, Sebagai simbol pemersatu. Dia menyatukan lima kerajaan waktu itu; Dunggala, Dunito, Hungayo, Lumehe Da’a, dan Tomilito, Menjadi satu kerajaan besar bernama Limboto.
Dititik ini aku malu pernah teramat bangga dengan penaklukan-penaklukan itu; seperti revolusi Iran, Revolusi Prancis, revolusi kebudayaan Cina, Revolusi Bolshevik, dan lain sebagainya. Semetara leluhurku yang berjenis kelamin wanita,
Memimpin revolusi tanpa darah; Penyatuan Linula-Linula.
Pulanglah Nak,
Bagi kalian yang muak dengan feodalisme dan menganggap demokrasi ala Amerika adalah dewa penolong, Heyy….400 tahun yang lalu, Gorontalo sudah menerapkan demokrasi itu. Pada tahun 1600an, untuk menjadi Raja, setiap lapisan masyarakat bisa mencapainya, dan tanpa ada embel-embel keturunan.
Syarat utama adalah akhlak terpuji Beragama yang kuat, Keluhuran budi, Memiliki keterampilan Dan berilmu pengetahuan yang mumpuni.
BUKAN KARNA EMBEL-EMBEL KETURUNAN DAN DOYI.
Janganlah kan terlalu terbuai dengan Kehadiran Montesquieu dengan trias politika-nya, yang antara lain tuk membatasi kuasa Raja, Jauh sebelum itu leluhurmu sudah melakukan itu, Di Gorontalo 400 tahun yang lalu, otoritas Raja tak lagi mutlak, Dalam arti raja dapat di turunkan sewaktu-sewaktu oleh peranan para Bate (pemangku adat) yang kemarin penuh bangga mengantarnya Ke singgasana Jika Raja khianat, Mahkota lengser dari kepalanya. 5 sila yang merupakan philosophy grondslag Indonesia, yang selanjutnya kita kenal dengan Pancasila; Jika diperas pancasila itu, maka akan menghasilkan tri sila, jika di peras tri sila itu, maka menghasilkan eka sila, atau satu sila; Yakni gotong royong, atau tolong menolong Sementara di tanah leluhurmu ini praktek gotong royong Diterjemah menjadi lebih banyak varian: Ada budaya huyula, ambuwa, tiayo, hileiya, aawota, dan hulunga,yang masing-masing punya arti yang berbeda. Aaah…. keren sekali tanah leluhur ini Pada tahun 2008 terjadi kekacauan ekonomi dunia, Berkumpulah profesor-profesor Amerika guna menyelamatkan spesiesnya yakni manusia, dari jeratan krisis ekonomi dunia. Rekomendasi dari konsorsium guru-guru besar itu hanya satu; ‘’Rakyat Amerika harus mulai membiasakan Diri untuk berbagi’’
HaHaHaHa….
Leluhurmu di Gorontalo jauh-jauh hari sudah melakukan itu, Tak perlu menunggu krisis dulu, atau menunggu langit runtuh.
Dalam hal berbagi di Gorontalo kita terbiasa dengan budaya: Depita, tayade, mpo’a burungi, heiya, sadaka, pitara, dan lain sebagainya. Dalam hal satu jiwa satu rasa, tak perlulah kau terlalu mendewakan Karl Marx.
Pulangla Nak,
Sebab selain daerahmu punya segalanya Kini dia terbelakang soal apa-apa.
Wassalam.

Penulis: Supandi Rahman


Tidak ada komentar:

Posting Komentar