BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Kegiatan belajar
mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Gurulah yang
menciptakannya guna membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik
yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi
edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai mediumnya. Di sana semua komponen
pengajaran diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah
di ditetapkansebelumpangajarandilaksanakan.
Seorang
guru
seharusnya sudah menyadari apa yang sebaiknya
dilakukan untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang dapat mengantarkan
anak didik ke tujuan. Di sinitentu saja tugas guru berusaha menciptakan suasana
belajar yang menggairahkan dan menyenangkan bagi semua anak didik. Suasana
belajar yang tidak menggairahkan dan menyenangkan bagi anak didik biasanya
lebih banyak mendatangkan kegiatan belajar mengajar yang kurang harmonis. Anak
didik gelisah duduk berlama-Iama di kursi mereka masing-masing. Kondisi ini
tentu menjadi kendala yang serius bagi tercapainya tujuan pengajaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat belajar mengajar ?
2. Apa saja ciri-ciri belajar mengajar ?
3. Apa saja komponen-komponen belajar
mengajar ?
4. Apa saja model-model pembelajaran inovatif
?
1.3 Tujuan
Setelah membaca dan memahami
makalah ini, pembaca di harapkan mampu memahami:
1. Hakikat belajar mengajar
2. Ciri-ciri belajar mengajar
3. Komponen-komponen belajar mengajar
4. Model-model pembelajaran inovatif
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat Belajar Mengajar
Dalam kegiatan belajar
mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan
pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan
belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran
tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif
mencapainya. Keaktifan anak didik disini tidak hanya dituntut dari segi fisik,
tetapi juga dari segi kejiwaan.. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi
pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran
tidak tercapai. Ini sam halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik
tidak merasakan perubahan didalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya
adalah “perubahan” yang terjadi di dalm diri seseorang setelah berakhirnya
melakukan aktivitas belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila, dan
sebagainya.
Kegiatan mengajar bagi
seorang guru pun menghendaki hadirnya sejumlah anak didik. Berbeda dengan
belajar, belajar idak selamanya memerlukan kehadiran seorang guru. Cukup banyak
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang di luar dari keterlibatan guru. Belajar
dirumah cenderung menyendiri dan terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang
lain. Apalagi aktivitas belajar itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah
buku tertentu.
Mengajar pasti
merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan individu anak didik. Bla
tidak ada anak didik atau ojek didik siapa yang diajar. Hal ini perlu sekali
guru sadari agar tidak terjadi kesalahan tafsir terhadap kegiatan pengajaran,
Karena itu, belajar dan mengajar merupakan istilah yang sudah baku dan menyatu
didalam konsep pengajaran. Guru yang mengajar dan anak
didik yang belajar adalah dwi tunggal dalam perpisahan raga jiwa bersatu antara
guru dan anak didik.
Biasanya permasalahan
yang guru hadapi ketika berhadapan dengan sejumlah anak didik adlah masalah
pengelolaan kelas. Apa, siapa, bagaiman, kapan, dan dimana adalah serentetan
pertanyaan yang perlu dijawab dalam hubungannya dalam masalah pengelolaan
kelas. Peranan guru itu paling tidak berusaha mengatur suasana kelas yang
kondusif bagi kegairahan dan kesenangan belajar anak didik. Setiap kali guru
masuk kelas selalu dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan
belajar mengajar. Jadi, masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah sepi
dari kegiatan guru. Semua kegiatan itu guru lakukan tidak lain demi kepentingan
anak didik, demi keberhasilan belajar anak didik.
Sama halnya dengan
belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses mengatur,
mengorganisasi, lingkungan yang ada disekitar anak didik, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya
mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam
melakukan proses belajar. (Nana sudjana,
1991:29).
Peranan guru sebagai
pembimbing bertolak dari cukup banyaknya anak didik yang bermasalah. Dalam
belajar ada anak didik yang cepat mencerna bahan, ada anak didik yang sedang
mencerna bahan, dan ada pula anak didik yang lamban mencerna bahan yang
diberikan oleh guru. Ketiga tipe belajar anak didik ini menghendaki agar guru
mengatur strategi pengajaran yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik.
Akhirnya, bila hakikat
belajar adalah “perubahan”, maka hakikat belajar mengajar adalah proses
“pengaturan” yang dilakukan oleh guru.
2.2
Ciri Belajar Mengajar
Sebagai suatu proses pengaturan belajar mengajar tidak
terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut:
- Belajar
mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu
perkembangan tertentu.
- Ada suatu prosedur yang diencanakan, didesain
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
- Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu
penggarapan materi khusus.
- Adanya aktivitas anak didik
- Dalam kegiatan belajar mengajar guru berperan
sebagai pembimbing
- Dalam kegiatan belajar mengajar dibutuhkan
disiplin
- Ada batas waktu
- Evaluasi
2.3
Komponen Belajar Mengajar
2.3.1
Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari
pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa
tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam
menentukan kearah mana kegiatan itu akan dibawa.
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari
pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa
tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam
menentukan kearah mana kegiatan itu akan dibawa.Sebagai unsur penting untuk
suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apa pun tidak bisa diabaikan. Demikian juga
halnya dlam kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengarjar, tujuan
adalah suatu cita-cita yang dicapai dalam kegiatannya. Kegiatan belajar
mengajar tida bisa dbawa sesuka hati, kecuali untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Tujuan dalam pendidikan dan
pengajaran adalah suatu cita-cita yang bernilai normatif. Dengan perkataan
lain, dalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan kepada anak
didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan
berbuat dalam lingkungan sosialnya, baik disekolah maupun diluar sekolah.
Menurut Ny.Dr.Roestiyah, N.K. (
1989:44) mengatakan bahwa suatu tujuan pengajaran adalah deskripsi
tentang penampilan perilaku murid-murid yang kita harapkan setelah mereka
mempelajari bahan pelajaran yang kita ajarkan. Suatu tujuan pengajaran
mengatakan suatu hasil yang kita harapkan dari pengajaran itu dan bukan sekedar
proses dari pengajaran itu sendiri.
2.3.2
Bahan Pelajaran
Bahan
pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar.
Bahan pelajaran mencakup bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap.
Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang
dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya. Sedangkan bahan pelajaran
pelengkap bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam
mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Bahan
adalah salah satu sumber belajar bagi anak didik. Bahan yang disebut sebagai
sumber belajar (pengajaran) ini adalah sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan
pengajaran. ( Sudirman, N.K., 1991; 203). Bahan pelajaran menurut Dr. Suharsimi
Arikunto (1990) merupakan unsur inti yang ada didalam kegiatan belajar
mengajar, karena memang bahan pelajran itulah yang diupayakan Untuk dikuasai oleh anak didik.
Karena itu, guru khususnya atau pengembang kurikulum umumnya, tidak boleh lupa
harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan yang topiknya tertera dalam silabi
berkaitan dengan kebutuhan anak didik pada usia tertentu dan dalam lingkungan
tertentu pula. Minat anak didik akan bangkit bila suatu bahan diajarkan sesuai
dengan kebutuhan anak didik.
Dengan
demikian, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam
pengajaran, sebab bahan adalah inti dalam proses belajar mengajar yang akan
disampaikan kepada anak didik.
2.3.3
Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan
belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang
telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi
dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya. Di dalam kegiatan ini anak didik
dibimbing untuk aktif dalam proses belajar sehingga meteri yang disampaikan
bisa diterima siswa. Guru hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator.
Inilah system pengajaran yang dikehendaki dalam pengajaran dengan pendekatan
CBSA ( Cara Belajar Siswa Aktif) dalam pendidikan modern.
Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru sebaiknya memperhatikan perbedaan individual
dan anak didik, yaitu pada aspek biologis, intelektua, dan psikologis. Kerangka
berpikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepada
setiap anak didik secara individual.
Anak didik sebagai individu memiliki perbedaan dalam hal sebagaimana
disebutkan diatas. Pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut akan merapatkan
hubungan guru dengan anak didik, sehingga memudahkan melakukan pendekatan
mastery learning dalam mengajar. Mastery learning adalah salah satu strategi
belajar mengajar pendekatan individual ( Drs. Muhammad Ali, 1992:94). Mastery
learning adalah kegiatan yang meliputi dua kegiatan, yaitu program pengayaan
dan program perbaikan (Dr.Suharsimi Arikunto,1988:31).
2.3.4Metode
Metode
adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan oleh guru dan penggunaan
bervariasi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai setelah pengajaran
berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksankan tugasnya bila ia tidak
menguasai satu pun metode mengajar yang dirumuskan dan dikemukakan para ahli
psikologi dan pendididikan ( Syaiful Bahri Djamarah, 1991:72). Pengunaan metode
yang tepat akan mempengaruhi proses belajar serta tujuan yang hendak dicapai di
akhir proses belajar.
Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru tidakl harus terpaku dengan menggunakan satu
metode, tetapi guru sebaiknya menggunakan metode yang bervariasi agar jalannya
pengajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian peserta didik. Tetapi
juga penggunaan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan
belajar mengajar bila penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan situasi yang
mendukungnya dan dengan kondisi psikologis anak didik.
Prof.
Dr. Winarno Surakhmad, M. Sc. Ed., mengemukakan lima macam factor yang
mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut :
a. Tujuan yang
berbagai-bagaijenisdanfungsinya
b. Anakdidik yang berbagai-bagaitingkatkematangan
c. Situasi yang
berbagai-bagaikeadaannya
d. Fasilitas yang
berbagai-bagaikualitasdankuantitasnya
e. Pribadi guru
sertakemampuanprofesionalnya yang berbeda-beda.
2.3.5Alat
Alat adalah segala sesuatu yang
digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Sebagai segala sesuatu yang
dapat digunakan dalam mencapai tujuan pengajaran, alat mempunyai fungsi, yaitu
alat sebagai perlengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai
tujuan dan alat sebagi tujuan. (Dr. Ahmad D. Marimba, 1989:51).
Alat dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu alat dan alat bantu pengajaran. Yang dimaksud alat adalah berupa suruhan,
perintah, larangan dan sebagainya. Sedangkan alat bantu pengajaran adalah
berupa globe, papan tulis, batu kapur, gambar, diagram, slide, video, dan
sebagainya. Ahli lain membagi alat pendidikan dan pengajaran menjadi alat
material dan non material.
2.3.6 Sumber
Pelajaran
Sumber
sumber bahan dan belajar adalah sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai
tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang (Drs.
Udin Saripuddin Winataputra, M.A. dan Drs. Rustana Ardiwinata, 1991: 165).
Dengan demikian, sumber belajar itu, merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu
pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya
belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru(perubahan).
Sumber belajar sesungguhnya banyak
sekali terdapat dimana-mana seperti, di sekolah, di halaman, di pusat kota, di
pedesaan, dan sebagainya. Pemanfaatan sumber-sumber pengajar tersebut
tergantung pada kreativitas guru, waktu, biaya, serta kebijakan-kebijakan
lainnya.
2.3.7 Evaluasi
Menurut Wand dan Brown, evaluasi
merupakan suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Sesuai diatas, maka menurut Wayan
Nurkancana dan P.P.N. Sumartana,(1983:1) evaluasi pendidikan sendiri bermakna
suatu proses untuk menentukan nilai sebagai sesuatu dalam dunia pendidikan atau
segala yang ada hubungannya dengan pendidikan.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ny. Drs. Roestiyah
N.K.(1989:85) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data
seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa
guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang mendorong dan
mengembangkan kemampuan belajar.
Dari
pengertian evaluasi tersebut, dapat diketahui tujuan penggunaan evaluasi.
Tujuan evaluasi dapat lihat dari dua segi yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus.
L. Pasaribu dan Simanjuntak menegaskan bahwa :
1. Tujuan umum dari evaluasi adalah :
a. Mengumpulkan
data-data yang membuktikan antara kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Memungkinkan pendidik/ guru menilai aktivitas atau pengalaman yang didapat
c. menilaimetodemengajar yang digunakan
2. Tujuan khusus dari evaluasi adalah :
a
Merangsang
kegiatan siswa
b
Menemukan
sebab-sebab kemajuan atau kegagalan
c
Memberikan
bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan
d
Memperoleh
bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dalam lembaga
pendidikan
e
Untuk
memperbaiki mutu pelajaran dan metode mengajar. (Abu Ahmadi dan Widodo
Supriyono, 1991:189)
Ketika evaluasi dapat memberikan manfaat bagi siswa dan guru
,maka evaluasi mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.
Untuk
memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki program bagi
murid.
2.
Untuk
memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap
murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar
murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulus setidaknya
seorang murid.
3.
Untuk
menentukan murid di dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat
kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki oleh murid.
4.
Untuk
mengenal latar belakang (psikologi, fisikdanlingkungan) murid yang mengalami kesulitan–kesulitan
belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan
belajar yang timbul. (Abu Ahmadidan Widodo Supriyono, 1991:189
2.4
Model-Model Pembelajaran Inovatif
2.4.1 Reasoning and Problem
Solving
Reasoning merupakan bagian berpikir
yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking
(memahami konsep), critical thinking (menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi
aspek-aspek yang fokus pada masa-lah, mengumpulkan dan mengoraganisasikan
informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan
mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang
rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, serta melakukan analisis dan
refleksi) , dan kreative thinking (menghasilkan produk orisinil, efektif,
kompleks, inventif, pensintesis, dan penerap ide).
Aktivitas problem solving diawali
dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai
dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui
kemampuan reasoning. Dalam pembelajaran, metode reasoning and problem solving
memiliki lima langkah (Krulik & Rudnik, 1996), yaitu: (1) membaca dan
berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi,
mendeskripsikan setting pemecahan), (2) mengekplorasi dan merencanakan
(mengorganisasi informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik,
atau gambar), (3) menyeleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi
atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4)
menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar,
dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif
pemecahan, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, dan
memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
2.4.2 Inquiry Training
Dalam metode ini terdapat tiga prinsip
kunci, yaitu: pengetahuan bersifat tentative (menghendaki proses penelitian
secara berkelanjutan), manusia memiliki sifat ingin tahu yang ilmiah
(mengindikasikan pentingnya siswa melakukan eksplorasi), dan manusia
mengembangkan individuality secara mandiri (kemandirian akan bermuara pada
pengenalan jati diri dan sikap ilmiah).
Metode inquiry training memiliki lima
langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1986), yaitu: (1) menghadapkan masalah
(menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan,
(2) menemukan masalah (memeriksa hakikat objek dan kondisi yang dihadapi,
memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji dan eksperimentasi (mengisolasi
variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan, merumuskan,
dan menjelaskan, dan (5) meng-analisis proses penelitian untuk memperoleh
prosedur yang lebih efektif.
2.4.3
Problem-based Instruction
Problem-based instruction adalah
metode pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi
keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah yang otentik (Arends,
2004). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik,
siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan
menginvestigasi masalah, mengunpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta,
mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual
atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Arends (2004) mengemukakan bahwa
metode problem-based learning memiliki lima langkah, yaitu: (1) guru
mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah
bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau
tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa)
(2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah
itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan
data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan
makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana
mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) mengorganisasikan laporan
(makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi
(dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administrator
dan anggota masyarakat).
2.4.4 Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah dimiliki oleh
seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh
dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber
dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau
masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan
pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi
sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) mengubah pandangannya
yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.
Perubahan konseptual terjadi ketika
siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi perubahan konseptual,
belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang
dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti
bahwa mengajar tidak melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan
memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan
konseptual (Hynd et al, 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas
aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi
individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction.
Metode
pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa,
2004), yaitu: (1) sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi
miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan
berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4)
konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi
dan contoh-contoh kontekstual, dan (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas
pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.
2.4.5 Group
Investigation
Ide metode group investigation
bermula dari perspektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar,
seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Metode group investigation
memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping
(menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik,
merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana
mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling tukar
informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi,
menganalisis data, membuat inferensi), (4) organizing ( anggota kelompok
menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator,
dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain
mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan),
dan (6) evaluating (tiap-tiap siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing
berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi
pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan
pada pencapaian pemahaman.
2.4.6 Problem-based Learning
Problem-based learning adalah salah satu
pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan
masalah-masalah praktis, berbentuk illstructured, atau open-ended melalui
stimulus dalam belajar (Fogarty, 1997). Problem-based learning memiliki
karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan,
(2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata
siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di
seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa
dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan
kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah
mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Problem-based learning dilaksanakan
dengan delapan langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah,
(3) mengumpulkan fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan
permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif
pemecahan secara kolaboratif, dan (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty,
1997).
2.4.7
Penelitian Jurisprudensial
Dasar metode penelitian
jurisprudensial ini adalah terkait dengan konsepsi tentang masyarakat yang
memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara
hukum saling bertentangan satu sama lain. Untuk memecahkan masalah yang
kontroversial dalam konteks sosial yang produktif, setiap warga Negara perlu
memiliki kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan
baik melakukan kesepakatan dengan orang lain.
Untuk dapat melakukan aktivitas
tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yaitu:
(1) mengenal dengan baik nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan
politik yang ada di lingkungan negaranya, (2) memiliki seperangkat keterampilan
untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, dan (3)
menguasai pengetahuan tentang politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan negaranya.
Metode penelitian
jurisprodensial ini memiliki enam langkah pembelajaran (Joyce & Weil,
1986), yaitu: (1) orientasi kasus (pengajar memperkenalkan materi pelajaran dan
mereviu data yang ada), (2) mengidentifikasi kasus (siswa mensintesiskan
fakta-fakta ke dalam suatu kasus, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang
terjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan),
(3) menetapkan posisi (siswa menimbang-nimbang posisi atau kedudukannya,
kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam
hubungannya dengan konsekuensi kedudukan itu, (4) mengeksplorasi contoh contoh
dan pola-pola argumentasi (siswa menetapkan titik di mana tampak adanya perusakan
nilai atas dasar yang diperoleh, membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan
yang tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai
dengan melakukan proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara membandingkan
nilai yang satu dengan yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila
memiliki salah satu nilai), (5) menjernihkan dan menguji posisi (siswa
menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut,
kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisnya), dan (6)
menguji asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya (siswa mengidentifikasi
asumsi factual dan menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan konsekuensi yang
diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut).
2.4.8
Penelitian Sosial
Metode pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri pada kemampuan
guru untuk melakukan refleksi terhadap kelas yang memfasilitasi siswa. Menurut
Massialas & Cox (Joyce & Weil, 1986), suasana kelas yang reflektif
memiliki tiga karakteristik utama, yaitu:
(1) aspek
sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2) penekanan pada hipotesis
sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan fakta sebagai bukti. Metode penelitian
sosial memiliki enam langkah pembelajaran, yaitu: (1) orientasi sebagai langkah
untuk membuat siswa menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah
yang akan menjadi pusat penelitian, (2) perumusan hipotesis yang akan dibuktikan
sebagai pedoman dalam melakukan penelitian, (3) penjelasan dan pendefinisian istilah-istilah
yang terkandung dalam hipotesis, (4) eksplorasi dalam rangka menguji hipotesis,
validasi, dan pengujian konsistensi internal sebagai dasar proses pengujian,
(5) pembuktian dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan hipotesis, dan
(6) merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi
yang luas, yang mengaitkan beberapa konsep denganhipotesis
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari
kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah
kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Sebagai
suatu proses pengaturan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri
tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut:
- Belajar
mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu
perkembangan tertentu.
- Ada suatu prosedur yang diencanakan, didesain
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
- Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu
penggarapan materi khusus.
- Adanya aktivitas anak didik
- Dalam kegiatan belajar mengajar guru berperan
sebagai pembimbing
- Dalam kegiatan belajar mengajar dibutuhkan
disiplin
- Ada batas waktu
- Evaluasi
Bahan
pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar.
Bahan pelajaran mencakup bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap.
Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang
dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya. Sedangkan bahan pelajaran
pelengkap bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam
mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Komponen belajar mengajar terdiri atas tujuh yaitu
tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat, sumber
pelajaran dan evaluasi. Terdapat beberapa metode pembelajaran inovatif antara
lain reasoning and problem solving, inquiry training, problem-based
instruction, pembelajaran perubahan konseptual, group investigation, problem-based
learning, penelitian jurisprudensial, dan penelitian sosial. Setiap metode memiliki ciri khas tersendiri yang
berbeda dari metode yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar