Sabtu, 21 Oktober 2017

makalah hakekat,ciri,dan komponen belajar mengajar dan model-model pembelajaran inovatif

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LatarBelakang
Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakannya guna membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai mediumnya. Di sana semua komponen pengajaran diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah di ditetapkansebelumpangajarandilaksanakan.
Seorang  guru seharusnya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang dapat mengantarkan anak didik ke tujuan. Di sinitentu saja tugas guru berusaha menciptakan suasana belajar yang menggairahkan dan menyenangkan bagi semua anak didik. Suasana belajar yang tidak menggairahkan dan menyenangkan bagi anak didik biasanya lebih banyak mendatangkan kegiatan belajar mengajar yang kurang harmonis. Anak didik gelisah duduk berlama-Iama di kursi mereka masing-masing. Kondisi ini tentu menjadi kendala yang serius bagi tercapainya tujuan pengajaran.
1.2 Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan hakikat belajar mengajar ?
  2. Apa saja ciri-ciri belajar mengajar ?
  3. Apa saja komponen-komponen belajar mengajar ?
  4. Apa saja model-model pembelajaran inovatif ?
1.3 Tujuan
            Setelah membaca dan memahami makalah ini, pembaca di harapkan mampu memahami:
  1. Hakikat belajar mengajar
  2. Ciri-ciri belajar mengajar
  3. Komponen-komponen belajar mengajar
  4. Model-model pembelajaran inovatif


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Belajar Mengajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif mencapainya. Keaktifan anak didik disini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan.. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sam halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik tidak merasakan perubahan didalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalm diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya.
Kegiatan mengajar bagi seorang guru pun menghendaki hadirnya sejumlah anak didik. Berbeda dengan belajar, belajar idak selamanya memerlukan kehadiran seorang guru. Cukup banyak aktivitas yang dilakukan oleh seseorang di luar dari keterlibatan guru. Belajar dirumah cenderung menyendiri dan terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang lain. Apalagi aktivitas belajar itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku tertentu.
Mengajar pasti merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan individu anak didik. Bla tidak ada anak didik atau ojek didik siapa yang diajar. Hal ini perlu sekali guru sadari agar tidak terjadi kesalahan tafsir terhadap kegiatan pengajaran, Karena itu, belajar dan mengajar merupakan istilah yang sudah baku dan menyatu didalam konsep pengajaran. Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar adalah dwi tunggal dalam perpisahan raga jiwa bersatu antara guru dan anak didik.
Biasanya permasalahan yang guru hadapi ketika berhadapan dengan sejumlah anak didik adlah masalah pengelolaan kelas. Apa, siapa, bagaiman, kapan, dan dimana adalah serentetan pertanyaan yang perlu dijawab dalam hubungannya dalam masalah pengelolaan kelas. Peranan guru itu paling tidak berusaha mengatur suasana kelas yang kondusif bagi kegairahan dan kesenangan belajar anak didik. Setiap kali guru masuk kelas selalu dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar. Jadi, masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah sepi dari kegiatan guru. Semua kegiatan itu guru lakukan tidak lain demi kepentingan anak didik, demi keberhasilan belajar anak didik.
Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses mengatur, mengorganisasi, lingkungan yang ada disekitar anak didik, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar. (Nana sudjana, 1991:29).
Peranan guru sebagai pembimbing bertolak dari cukup banyaknya anak didik yang bermasalah. Dalam belajar ada anak didik yang cepat mencerna bahan, ada anak didik yang sedang mencerna bahan, dan ada pula anak didik yang lamban mencerna bahan yang diberikan oleh guru. Ketiga tipe belajar anak didik ini menghendaki agar guru mengatur strategi pengajaran yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik.
Akhirnya, bila hakikat belajar adalah “perubahan”, maka hakikat belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru.
2.2 Ciri Belajar Mengajar
            Sebagai suatu proses pengaturan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut:
  1. Belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu.
  2. Ada suatu prosedur yang diencanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
  3. Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi khusus.
  4. Adanya aktivitas anak didik
  5. Dalam kegiatan belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing
  6. Dalam kegiatan belajar mengajar dibutuhkan disiplin
  7. Ada batas waktu
  8. Evaluasi
2.3 Komponen  Belajar Mengajar
2.3.1 Tujuan
          Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan kearah mana kegiatan itu akan dibawa.
          Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan kearah mana kegiatan itu akan dibawa.Sebagai unsur penting untuk suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apa pun tidak bisa diabaikan. Demikian juga halnya dlam kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengarjar, tujuan adalah suatu cita-cita yang dicapai dalam kegiatannya. Kegiatan belajar mengajar tida bisa dbawa sesuka hati, kecuali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan dalam pendidikan dan pengajaran adalah suatu cita-cita yang bernilai normatif. Dengan perkataan lain, dalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan kepada anak didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan berbuat dalam lingkungan sosialnya, baik disekolah maupun diluar sekolah.
Menurut Ny.Dr.Roestiyah, N.K. ( 1989:44) mengatakan bahwa suatu tujuan pengajaran adalah deskripsi tentang penampilan perilaku murid-murid yang kita harapkan setelah mereka mempelajari bahan pelajaran yang kita ajarkan. Suatu tujuan pengajaran mengatakan suatu hasil yang kita harapkan dari pengajaran itu dan bukan sekedar proses dari pengajaran itu sendiri.
2.3.2 Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Bahan pelajaran mencakup bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya. Sedangkan bahan pelajaran pelengkap bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Bahan adalah salah satu sumber belajar bagi anak didik. Bahan yang disebut sebagai sumber belajar (pengajaran) ini adalah sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pengajaran. ( Sudirman, N.K., 1991; 203). Bahan pelajaran menurut Dr. Suharsimi Arikunto (1990) merupakan unsur inti yang ada didalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan pelajran itulah yang diupayakan Untuk dikuasai oleh anak didik. Karena itu, guru khususnya atau pengembang kurikulum umumnya, tidak boleh lupa harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan yang topiknya tertera dalam silabi berkaitan dengan kebutuhan anak didik pada usia tertentu dan dalam lingkungan tertentu pula. Minat anak didik akan bangkit bila suatu bahan diajarkan sesuai dengan kebutuhan anak didik.
Dengan demikian, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam pengajaran, sebab bahan adalah inti dalam proses belajar mengajar yang akan disampaikan kepada anak didik.
2.3.3 Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya. Di dalam kegiatan ini anak didik dibimbing untuk aktif dalam proses belajar sehingga meteri yang disampaikan bisa diterima siswa. Guru hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator. Inilah system pengajaran yang dikehendaki dalam pengajaran dengan pendekatan CBSA ( Cara Belajar Siswa Aktif) dalam pendidikan modern.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sebaiknya memperhatikan perbedaan individual dan anak didik, yaitu pada aspek biologis, intelektua, dan psikologis. Kerangka berpikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepada setiap anak didik secara individual.  Anak didik sebagai individu memiliki perbedaan dalam hal sebagaimana disebutkan diatas. Pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut akan merapatkan hubungan guru dengan anak didik, sehingga memudahkan melakukan pendekatan mastery learning dalam mengajar. Mastery learning adalah salah satu strategi belajar mengajar pendekatan individual ( Drs. Muhammad Ali, 1992:94). Mastery learning adalah kegiatan yang meliputi dua kegiatan, yaitu program pengayaan dan program perbaikan (Dr.Suharsimi Arikunto,1988:31).
2.3.4Metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan oleh guru dan penggunaan bervariasi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai setelah pengajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksankan tugasnya bila ia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan pendididikan ( Syaiful Bahri Djamarah, 1991:72). Pengunaan metode yang tepat akan mempengaruhi proses belajar serta tujuan yang hendak dicapai di akhir proses belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidakl harus terpaku dengan menggunakan satu metode, tetapi guru sebaiknya menggunakan metode yang bervariasi agar jalannya pengajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian peserta didik. Tetapi juga penggunaan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar bila penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan situasi yang mendukungnya dan dengan kondisi psikologis anak didik.
Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M. Sc. Ed., mengemukakan lima macam factor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut :
a.       Tujuan yang berbagai-bagaijenisdanfungsinya
b.      Anakdidik yang berbagai-bagaitingkatkematangan
c.       Situasi yang berbagai-bagaikeadaannya
d.      Fasilitas yang berbagai-bagaikualitasdankuantitasnya
e.       Pribadi guru sertakemampuanprofesionalnya yang berbeda-beda.
2.3.5Alat
          Alat adalah segala sesuatu yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan pengajaran, alat mempunyai fungsi, yaitu alat sebagai perlengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan dan alat sebagi tujuan. (Dr. Ahmad D. Marimba, 1989:51).
          Alat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu alat dan alat bantu pengajaran. Yang dimaksud alat adalah berupa suruhan, perintah, larangan dan sebagainya. Sedangkan alat bantu pengajaran adalah berupa globe, papan tulis, batu kapur, gambar, diagram, slide, video, dan sebagainya. Ahli lain membagi alat pendidikan dan pengajaran menjadi alat material dan non material.
2.3.6 Sumber Pelajaran
Sumber sumber bahan dan belajar adalah sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang (Drs. Udin Saripuddin Winataputra, M.A. dan Drs. Rustana Ardiwinata, 1991: 165). Dengan demikian, sumber belajar itu, merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru(perubahan).
          Sumber belajar sesungguhnya banyak sekali terdapat dimana-mana seperti, di sekolah, di halaman, di pusat kota, di pedesaan, dan sebagainya. Pemanfaatan sumber-sumber pengajar tersebut tergantung pada kreativitas guru, waktu, biaya, serta kebijakan-kebijakan lainnya.
2.3.7 Evaluasi
          Menurut Wand dan Brown, evaluasi merupakan suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sesuai  diatas, maka menurut Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sumartana,(1983:1) evaluasi pendidikan sendiri bermakna suatu proses untuk menentukan nilai sebagai sesuatu dalam dunia pendidikan atau segala yang ada hubungannya dengan pendidikan.
          Berbeda dengan pendapat tersebut, Ny. Drs. Roestiyah N.K.(1989:85) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.
Dari pengertian evaluasi tersebut, dapat diketahui tujuan penggunaan evaluasi. Tujuan evaluasi dapat lihat dari dua segi yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus. L. Pasaribu dan Simanjuntak menegaskan bahwa :
1. Tujuan umum dari evaluasi adalah :
a. Mengumpulkan data-data yang membuktikan antara kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Memungkinkan pendidik/ guru menilai aktivitas atau pengalaman yang didapat
c. menilaimetodemengajar yang digunakan
2. Tujuan khusus dari evaluasi adalah :
a            Merangsang kegiatan siswa
b           Menemukan sebab-sebab kemajuan atau kegagalan
c            Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan
d           Memperoleh bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dalam lembaga pendidikan
e            Untuk memperbaiki mutu pelajaran dan metode mengajar. (Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, 1991:189)
Ketika evaluasi dapat memberikan manfaat bagi siswa dan guru ,maka evaluasi mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.         Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki program bagi murid.
2.         Untuk memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulus setidaknya seorang murid.
3.         Untuk menentukan murid di dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki oleh murid.
4.         Untuk mengenal latar belakang (psikologi, fisikdanlingkungan) murid yang mengalami kesulitan–kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan belajar yang timbul. (Abu Ahmadidan Widodo Supriyono, 1991:189



2.4 Model-Model Pembelajaran Inovatif
  2.4.1 Reasoning and Problem Solving
          Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking (memahami konsep), critical thinking (menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masa-lah, mengumpulkan dan mengoraganisasikan informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, serta melakukan analisis dan refleksi) , dan kreative thinking (menghasilkan produk orisinil, efektif, kompleks, inventif, pensintesis, dan penerap ide).
          Aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning. Dalam pembelajaran, metode reasoning and problem solving memiliki lima langkah (Krulik & Rudnik, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan setting pemecahan), (2) mengekplorasi dan merencanakan (mengorganisasi informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menyeleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, dan memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
2.4.2  Inquiry Training
          Dalam metode ini terdapat tiga prinsip kunci, yaitu: pengetahuan bersifat tentative (menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan), manusia memiliki sifat ingin tahu yang ilmiah (mengindikasikan pentingnya siswa melakukan eksplorasi), dan manusia mengembangkan individuality secara mandiri (kemandirian akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah).
          Metode inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1986), yaitu: (1) menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan, (2) menemukan masalah (memeriksa hakikat objek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan, dan (5) meng-analisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
2.4.3 Problem-based Instruction
          Problem-based instruction adalah metode pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah yang otentik (Arends, 2004). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengunpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
          Arends (2004) mengemukakan bahwa metode problem-based learning memiliki lima langkah, yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa) (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) mengorganisasikan laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administrator dan anggota masyarakat).
2.4.4 Pembelajaran Perubahan Konseptual
          Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) mengubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.
          Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar tidak melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual (Hynd et al, 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction.
          Metode pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu: (1) sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, dan (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.
2.4.5 Group Investigation
Ide metode group investigation bermula dari perspektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Metode group investigation memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi), (4) organizing ( anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (tiap-tiap siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
2.4.6  Problem-based Learning
          Problem-based learning adalah salah satu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk illstructured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar (Fogarty, 1997). Problem-based learning memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
          Problem-based learning dilaksanakan dengan delapan langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, dan (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty, 1997).
2.4.7 Penelitian Jurisprudensial
Dasar metode penelitian jurisprudensial ini adalah terkait dengan konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara hukum saling bertentangan satu sama lain. Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam konteks sosial yang produktif, setiap warga Negara perlu memiliki kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang lain.
Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yaitu:
(1) mengenal dengan baik nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan negaranya, (2) memiliki seperangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, dan (3) menguasai pengetahuan tentang politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.
        Metode penelitian jurisprodensial ini memiliki enam langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1986), yaitu: (1) orientasi kasus (pengajar memperkenalkan materi pelajaran dan mereviu data yang ada), (2) mengidentifikasi kasus (siswa mensintesiskan fakta-fakta ke dalam suatu kasus, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang terjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan), (3) menetapkan posisi (siswa menimbang-nimbang posisi atau kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi kedudukan itu, (4) mengeksplorasi contoh contoh dan pola-pola argumentasi (siswa menetapkan titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar yang diperoleh, membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai), (5) menjernihkan dan menguji posisi (siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisnya), dan (6) menguji asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya (siswa mengidentifikasi asumsi factual dan menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut).
2.4.8 Penelitian Sosial
Metode pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri pada kemampuan guru untuk melakukan refleksi terhadap kelas yang memfasilitasi siswa. Menurut Massialas & Cox (Joyce & Weil, 1986), suasana kelas yang reflektif memiliki tiga karakteristik utama, yaitu:
(1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2) penekanan pada hipotesis sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan fakta sebagai bukti. Metode penelitian sosial memiliki enam langkah pembelajaran, yaitu: (1) orientasi sebagai langkah untuk membuat siswa menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah yang akan menjadi pusat penelitian, (2) perumusan hipotesis yang akan dibuktikan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian, (3) penjelasan dan pendefinisian istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis, (4) eksplorasi dalam rangka menguji hipotesis, validasi, dan pengujian konsistensi internal sebagai dasar proses pengujian, (5) pembuktian dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan hipotesis, dan (6) merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang luas, yang mengaitkan beberapa konsep denganhipotesis


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Sebagai suatu proses pengaturan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut:
  1. Belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu.
  2. Ada suatu prosedur yang diencanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
  3. Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi khusus.
  4. Adanya aktivitas anak didik
  5. Dalam kegiatan belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing
  6. Dalam kegiatan belajar mengajar dibutuhkan disiplin
  7. Ada batas waktu
  8. Evaluasi
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Bahan pelajaran mencakup bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya. Sedangkan bahan pelajaran pelengkap bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
 Komponen belajar mengajar terdiri atas tujuh yaitu tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat, sumber pelajaran dan evaluasi. Terdapat beberapa metode pembelajaran inovatif antara lain reasoning and problem solving, inquiry training, problem-based instruction, pembelajaran perubahan konseptual, group investigation, problem-based learning, penelitian jurisprudensial, dan penelitian sosial. Setiap  metode memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dari metode yang lainnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar