BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Istilah constructivism
(yang dalam Bahasa Indonesia diserap
Menjadi konstruksivisme) berasal
dari kata kerja Inggris "to
construct". Kata ini merupakan serapan dari bahasa Latin "con
struere" yang berarti menyusun atau membuat struktur. Konsep inti
konstruktivisme dengan demikian adalah
proses penstrukturan atau pengorganisasian. Secara istilah, konstruktivisme
merupakan suatu aliran filsafat
ilmu, psikologi dan teori belajar
mengajar yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan)
kita sendiri
Seiring
berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta kualitas
kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, tentu
saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan sesuai dengan
kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain pembelajaran serta
pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan semakin beragamnya
tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan. Jadi memang itulah
yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana menciptakan sebuah
kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan yang kontekstual dan
mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.
Guru di dalam
melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih maupun menetapkan suatu
pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga hasil pembelajaran lebih
optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari yang
harus mampu menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Guru pun demikian, harus
bisa menetapkan pendekatan pembelajaran yang tepat.
Masing – masing
individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan mengajar,
namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam pendekatan pembelajaran
tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan lain. Salah
satu contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan konstruktivisme. Martin.
Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme
menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui
hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh siswa untuk kepentingan mereka sendiri.
Elemen kuncinya adalah bahwa orang belajar secara aktif mengkonstruksikan
pengetahuan mereka sendiri, membandingkan informasi baru dengan pemahaman
sebelumnya dan menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu,
setiap pelajaran di sekolah perlu diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar
mengkonstruksikan pengetahuannya.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan
konstruktivisme ?
b.
Apa Tujuan Dari Teori Belajar
Konstruktivisme ?
c.
Bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme ?
d.
Bagaimana Penerapan Teori
Konstruktivisme Dalam Kurikulum?
e.
Apa saja kendala - kendala dalam penerapan pembelajaran menurut
konstruktivisme ?
2.2 Tujuan
a.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan konstruktivisme.
b.
Untuk mengetahui bagaimana Teori
Belajar Konstruktivisme
c.
Untuk mengetahui bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme.
d.
Mahasiswa Dapat Mengetahui Bagaimana
Penerapan Teori Kognitivisme Dalam Kurikulum.
e.
Untuk mengetahui apa saja kendala - kendala dalam penerapan
pembelajaran menurut konstruktivisme.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dari teori Belajar konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme.
Konstruktiv
berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme
dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktivis dalam
pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan
strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Tran Vui juga
mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau
mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al
mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar
sebelumnya dengan belajar baru.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma
pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam
proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri, dan perlunya
siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan
konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang
kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan. Misalnya, ketika
siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk
membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian
bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki
tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar.
Namun guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk
dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan
pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah
menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa
serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa. Oleh karena
itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada
siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat
menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan
melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya. Berdasarkan
konstruktivisme, akibatnya orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada
guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction).
2.1.2 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Suparno
(1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil
adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun
secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali
dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi
secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang
lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan
membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan
mulus.
Berikut ini
akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa
literatur yaitu sebagai berikut.
a. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.
b. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
c. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman.
d. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui
berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau
bekerja sama dengan orang lain.
2.1.3 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang
diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkonstruksi secara
terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan
saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5. Struktur pembelajaran seputar konsep
diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan.
6. Mencari dan menilai pendapat siswa.
7. Menyesuaikan bahan pengajaran untuk
menanggapi anggapan siswa.
2.2 Tujuan Teori Konstruktivisme
1) Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2) Mengembangkan kemampuan
siswa untuk mengejukan
pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
3) Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4) Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5) Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks &
Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Teori ini lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian
yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika
seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap saja
tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila
pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena
yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus
diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan
sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus.
Dalam proses ini keaktifan seseorang sangat menentukan perrkembangan
pengetahuannya.
2.3 Pembelajaran Menurut Konstruktivisme
Kegiatan belajar adalah kegiatan
yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti
sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan
konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam
pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan
guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Proses perolehan pengetahuan akan
terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang ideal yang
dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang sesuai dengan
karakteristik IPA dan memperhatikan perspektif siswa sekolah dasar.
Pembelajaran yang dimaksud diatas adalah pembelajaran yang mengutamakan
keaktifan siswa, menerangkan pada kemampuan minds-on dan hands-on
serta terjadi interaksi dan mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki
siswa melalui pengalaman sebelumnya.
Dalam pelaksanaan teori belajar
konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran
yaitu sebagai berikut :
a.
Memperhatikan dan memanfaatkan
pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu
pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan
teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
b. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian
rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
c.
Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan
sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa
untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi
dan mengatur kegiatan belajarnya.
e.
Adanya usaha untuk mengenalkan siswa
tentang dunia ilmiah
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga
mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa
melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan. Pembelajaran
kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam
pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti
pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong
menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati
suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu
guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang
konsep.
2.4 Penerapan Teori Konstruktivisme Dalam
Kurikulum
Pada awalnya istilah
kurikulum digunakan dalam
dunia olah raga
pada jaman Yunani Kuno.
Curriculum dalam bahasa
Yunani berasal dari
kata “ Curir“ artinya pelari dan
“ Curere“ artinya ditempuh atau berpacu. Curriculum diartikan jarak yang
harus ditempuh oleh
pelari. Mengambil makna
yang terkandung dari
rumusan tersebut, kurikulum
dalam pendidikan diartikan sejumlah
mata pelajaran yang
harus ditempuh atau diselesaikan
anak didik untuk
memperoleh ijazah. Hilda Taba,
mengartikan kurikulum sebagai
a
plan for learning,
yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh
anak-anak.
Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Konstruktivise
merupakan lndasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Konstruktivisem
memandang bahwa belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya
sendiri oleh dirinya sendiri. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.
Belajar dalam teori konstruktivisme adalah merupakan proses
aktif dari peserta didik untuk merekonstruksi makna dengan cara memahami teks,
kegiatan dialog, pengalaman fisik. Belajar merupakan proses menghubungkan
pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki,
sehingga pengertiannya semakin berkembang.
2.4.1 Konstruktivisme Dalam Kurikulum 2013
Jika dilihat dari paparan diatas, pendekatan saintifik yang
digunakan dalam kurikulum 2013 merupakan terjemahan lain dari model
pembelajaran konstruktivisme. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa
pendekatan saintifik atau ilmiah mengasumsikan suatu konstruksi pengetahuan
baru bagi siswa melalui proses mengamati, menanya, menalar dan mencoba. Hal
tersebut merupakan cirri-ciri dari pendekatan konstruktivisme yang juga
memberikan ruang bebas terhadap siswa untuk mengkonstruk pengetahuannya secara
mandiri. Pergeseran posisi guru dalam kurikulum 2013 yang hanya sebatas menjadi
fasilitator dan pengarah bagi siswa juga menjadi argumentasi lain dari
terakomodasinya model pendekatan konstruktivisme. Artinya, model seperti Problem
Based Learning juga menjadi salah satu pilihan dari metode pembelajaran yang
bersifat konstruktifis dalam implementasi kurikulum 2013.
Selain itu, discovery learning yang diintrodusir oleh Piaget
juga menjadi bagian penting dalam pendekatan saintifik yang ada dalam kurikulum
2013. Menjadi tidak asing lagi bahwa pendekatan konstruktivis yang sudah mulai
ramai didiskusikan dan diterapkan di sekolah-sekolah memberikan harapan baru
bagi generasi-generasi masadepan. Malaysia pun telah menjadikan pendekatan konstruktivisme
sebagai pendekatan utamanya dalam kurikulum.
Beberapa penelitian tentang pembelajaran konstruktivisme juga
menunjukan hasil-hasil yang positif seperti yang dilakukan oleh Zuarainu Mat
Jasin dan Abdul Sukor Shari bahwa antara pembelajaran yang menggunakan
pendekatan konstruktivis dengan pendekatan konvensional menunjukan perbedaan
yang signifikan. Kelas eksperimen yang dilakukan treatmen dengan pendekatan
konstruktivisme lebih tinggi dari kelas dengan pendekatan konvensional.
Penelitian tersebut semakin mengafirmasi pendekatan konstruktivisme yang memang
teruji untuk diterapkan dalam sebuah pembelajaran.
2.5 Kendala - Kendala dalam Penerapan
Pembelajaran menurut Konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin
segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula
kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di
kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sulit
mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa
mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan ini
merupakan suatu hal yang tidak mudah.
2. Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut
untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih
menggunakan media yang sesuai.
3. Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam
pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru
khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
4. Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal
yang terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil
akhirnya.
5. Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan
mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa
merupakan yang cukup serius.
6. Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa
akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya.
Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi
informasi” merupakan kendala itu sendiri.
7. Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah
satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling
benar, ank dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa
ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru.
Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan
gurunya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv
dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam berarti paham
atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri.
2. Komparasi pembelajaran behaviorisme
dengan konstruktivisme meliputi pandangan tentang pengetahuan,
belajar dan pembelajaran, masalah
belajar dan pembelajaran, strategi pembelajaran, serta
evaluasi.
3.
Pembelajaan
menurut konstruktivisme yaitu kegiatan
belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya.
Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses
menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah
ada dalam pikiran mereka.
4. Konstruktivisme
berarti bersifat membangun. Konstruktivise merupakan lndasan berfikir
(filosofi) pembelajaran kontekstual. Konstruktivisem memandang bahwa belajar
melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh
dirinya sendiri. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.
5. Kendala
- kendala dalam penerapan
pembelajaran menurut konstruktivisme yaitu : sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru, guru kurang tertarik dan
mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme,
adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam
pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar, sistem evaluasi yang
masih menekankan pada nilai akhir, besarnya beban mengajar guru, siswa terbiasa
menunggu informasi dari guru, dan adanya budaya negatif di lingkungan siswa.
3.2
Saran
Penulis menyadari kekurangan dari makalah ini.
Sehingga kami manyarankan kepada pembaca agar bisa memberikan kritik dan
sarannya, agar makalah ini bisa jadi lebih baik. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Anekaragammakalah.
2012. Makalah Teori Belajar
Konstruktivisme. Blogspot.com; diakses online pada tanggal 7 Mei 2013.
Budiningsih,
C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Pranita, Tya.
2010. Teori Konstruktivisme.
Kompasiana.com; diakses online pada tanggal 7 Mei 2013.
Karli, H. dan
Yuliariatiningsih, M.S. (2003). Model-Model
Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar